Tangisanku di Kampus

Pagi ini, entah mengapa mendadak pikiranku terbawa pada suatu kenangan sedih di awal-awal masa kuliah, sebuah tangisan yang mungkin akan sulit terlupakan hingga kapan pun juga.


Bogor, Agustus 2004

Hari itu adalah masa pengurusan KRS (Kartu Rencana Studi) untuk kenaikan tingkat dari TPB ke tingkat dua, awalnya semua tak bermasalah, uang sudah di autodebet dan siap mengmbil KRS untuk di isi. Sesampainya di depan loket petugas berkata,

“Muhammad Taufiqullah ya, hmm de.. kamu belum boleh mengambil KRS, di catatan kami kamu belum bayar uang pendaftaran IPB, dua juta rupiah”

Jantungku berdegup kencang, teringat memang uang itu belum kubayar, sebenarnya sudah kusampaikan ke orang tua namun kala itu memang berat. Setelah ayah pensiun 4 tahun lalu, praktis tidak ada pemasukan berarti bagi kehidupan rumah tangga, apalagi saya lima bersaudara. Tak rela rasanya harus memaksa orang tua untuk membayarkan uang itu

“Pak saya boleh minta keringanan biaya tidak pak?”, pinta ku pada petugas,
“Duh coba ade ke dalam saja, saya tidak tahu menahu tentang itu”, jawabnya

Saya coba masuk ke ruang AJMP rektorat dan bertemu dengan salah satu petugas yang katanya memang berwenang melakukan hal itu.
“Wah de, kalo masalah penundaan SPP saya bisa urus, tapi kalo masalah uang pendaftaran ga bisa, coba kamu ke direktorat TPB di LSI”
Hati ini sudah ada sedikit rasa lelah karena lokasi kantor TPB cukup jauh, apalagi di siang terik ini dan harus berjalan kaki. Namun rasa lelah itu seketika sirna ketika terbayang ekspresi wajah orang tua ketika saya harus meminta uang, rasanya tidak tega. Ok, berangkatlah saya ke direktorat TPB.

Setelah lama menunggu, akhirnya saya di panggil dengan salah satu pejabat tinggi TPB yang bernama Bpk. E (nama yang entah kenapa sulit untuk dilupakan, namun tetap saya samarkan), dan saat inilah masa yang tak terlupakan itu.

“Ada urusan apa de?”,
“Maaf sebelumnya mengganggu pak, ini pak saya mau minta dispensasi untuk pembayaran uang pendaftaran, keluarga saya memiliki kesulitan ekonomi sehingga belum dapat membayar”
“UANG PENDAFTARAN?” nada bapak itu pun meninggi, “UANG PENDAFTARAN APA? KAMU BELUM BAYAR JUGA”

“Iya pak mohon maaf saya belum bayar. mohon keringanannya pak..” saat itu nyaliku sudah mulai ciut mendengar nadanya yang meninggi

“EH DENGERIN YA, MAHASISWA KAYA KAMU NI YANG SUKA BIKIN SAYA KESEL, TAU GA KAMU, KENAPA KAMU GA BILANG DARI DULU KALO KAMU GA MAMPU BAYAR?”
suaranya pun makin meninggi, “KAMI SUDAH MEMANGGIL ORANG-ORANG SEPERTI KAMU YANG BELUM BAYAR UANG PENDAFTARAN, TAPI KENAPA KAMU BARU DATANG SEKARANG”

“Maaf pak, seingat saya, saya tidak pernah merasa dipanggil oleh direktorat TPB terkait hal ini atau hal lainnya”, ucapku lemah, karena sekuat apapun aku berpikir, aku tak pernah ingat bahwa aku pernah dipanggil.

“KAMU AJA KALI YANG GA TANYA TEMAN-TEMANMU, KAMI PERNAH MEMANGGIL ASAL KAMU TAHU”

Tanya-tanya teman?, gumamku dalam hati, rasanya kecil kemungkinan saya tiba-tiba datang ke teman tiap hari dan bertanya ,eh kamu dipanggril sama Mr E ga karena blum bayar pendfataran? pun saya tidak tau teman yang belum bayar. “Maaf pak, memang saya belum pernah dipanggil dan tidak tahu”,

“HAH..BANYAK ALASAN KAMU, DENGAR YA, SAAT INI SAYA TIDAK BISA BANTU KAMU APA-APA LAGI, ORANG KAYAK KAMU CUMA BISA NGEREPOTIN DOANG, COBA KAMU KE DIREKTORAT …”

Sudah tak jelas lagi aku mendengar ucapan angkuh beliau, tak ingin lagi aku di pingpong untuk sekedar digilir amarah. rasanya hati ini sudah begitu sakit mendengar kata-kata satu orang saja…
“Oh iya pak, maaf pak”
“YA SUDAH YA, SAYA MASIH BANYAK URUSAN”
“baik pak saya pergi dulu, terimakasih, assalamualaikum”

langkah pertamaku keluar dari pintu ruang TPB tiba2 air mata mengalir pelan dari pelupuk mataku, Ya Allah tak pernah saya merasa sesedih ini, apakah layak bagi seorang pimpinan bagian memarahi seorang mahasiswa sebegitunya hanya karena ia meminta keringanan biaya?. Saya tidak terbayang hal apa yang harus dialami oleh rekan2 saya yang mungkin jauh lebih tidak mampu dibanding saya.

Semakin ku merenung, semakin deras air mata itu mengalir… Apalagi teringat kalau aku harus mengubur impianku kuliah di ITB karena biaya kuliah IPB yang jauh lebih murah (750rb per semester vs 1.6 juta).
dalam hatiku kukatakan, “Hai kani, kamu kan cowok, dah mahasiswa lagi kok cengeng banget sii…”, tapi yang paling membuatku takut adalah wajah memelas ibu ketika aku harus meminta uang lagi pada beliau.


“Enam Tujuh RKJ Dua”, dan kemudian suara panggilan nomor antrian BNI ku pun mengembalikanku ke alam masa kini. Aku bersyukur kini bisa membayar SPP dan kehidupan sehari-hari i tanpa kiriman orang tua lagi. Bantuan beasiswa Goodwill dan PPSDMS NF serta usaha bisnis kecil-kecilan dari Rozelt membuatku akhirnya mampu menyelesaikan kuliah. Aku berdiri dan melangkah seraya berazzam, kelak suatu hari nanti, pasti, aku akan berkontribusi untuk mengurangi mahasiswa yang diperlakukan sepertiku lagi, Izinkan aku Ya Allah…